Senin, 29 Oktober 2007

Tugas konsorsium Stanford

Berdasarkan Stanford:
Evaluasi guru
Kalo siswa ga evaluasi guru, rapornya ditahan. Supaya dapet rapor cepet, harus evaluasi guru! (ini sogokan ato ancaman?)

Pengawasan terhadap siswa
Semua profesor dan TA dipercaya untuk TIDAK menjaga murid pas ujian karena murid2 dianggap sudah dewasa dan ga akan menyontek.
Apa Tes IQ Itu?



Sunday, 29 July 2007
Skor tes IQ sering dilihat sebagai ukuran kecerdasan seorang anak. Padahal skor tersebut tidak berdiri sendiri. Ia berhubungan dengan pola asuh, hubungan anak dan orangtua, kebiasaan belajar, dan faktor lingkungan lainnya.
Intelegensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Dalam arti yang lebih luas, para ahli mengartikan intelegensi sebagai suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional.

Menurut Indri Savitri, S. Psi, Kepala Divisi Klinik dan Layanan Masyarakat LPT UI, intelegensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan wujud dari proses berpikir rasional itu. Tes IQ adalah alat ukur kecerdasan yang hasilnya berupa skor. Tetapi skor tersebut hanya memberi sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan secara keseluruhan.

Skor bukan harga mati
Howard Gardner, psikolog pendidikan asal Amerika yang terkenal dengan teori kecerdasan gandanya menyatakan, kecerdasan intelektual hanyalah salah satu dari 8 kecerdasan yang dimiliki seseorang. Kecerdasan ganda yang dimaksud Gardner adalah kecerdasan di bidang bahasa, berpikir logis atau matematis, musik, visual, dan gerak. “Sayangnya, alat ukur untuk kecerdasan ganda itu masih dikembangkan Gardner. Perlu waktu lama untuk bisa menerapkannya di negara yang berbeda kultur seperti Indonesia,” tutur Indri.

Awalnya, tes IQ diterapkan di masyarakat Barat karena adanya kebutuhan untuk seleksi. Anak-anak dengan kemampuan rata-rata, di bawah, dan di atas rata-rata, memerlukan penanganan yang berbeda. Tapi sekarang di sana skor IQ sudah tidak lagi dipakai karena mulai dikembangkan pendekatan-pendekatan lain yang melihat faktor kecerdasan secara menyeluruh.

Sayangnya, di Indonesia banyak lembaga pendidikan yang mewajibkan calon siswanya untuk tes IQ terlebih dahulu sebagai salah satu syarat penerimaan siswa baru. Ada sekolah yang menetapkan syarat penerimaan tes IQ minimal 120 skala Weschler. “ Bahkan, ada anak yang disarankan untuk sekolah di SLB karena skornya di bawah rata-rata, tanpa ada tahapan melihat latar belakang anak terlebih dahulu,” kata ibu satu anak ini menyayangkan.

Situasi saat tes
Menurut Indri, setidaknya tiga faktor yang berhubungan dengan tes IQ. Pertama, reliabilitas atau sejauh mana hasil tes itu dapat dipercaya. Skor IQ yang diperoleh akan sama walaupun seorang anak melakukannya pada kondisi yang berbeda. Kedua, validitas atau sejauh mana alat ini mampu mengukur apa yang hendak diukur. Jika tes itu mengukur kemampuan berbahasa, maka yang diukur adalah kemampuan anak dalam mengeluarkan pendapat, bukan mengukur kepercayaan diri. Ketiga, standarisasi, yaitu apakah alat yang dipakai sesuai dengan norma masyarakat setempat. Tiap masyarakat tentu mempunya norma berbeda satu sama lain.

Menurut Indri, saat ini banyak dilakukan tes psikologi secara massal, misalnya dalam satu ruang kelas. Padahal, tes yang dilakukan secara massal itu bisa menimbulkan banyak kemungkinan. Sehingga, seorang anak yang skor IQnya 140 belum tentu memiliki prestasi yang baik di sekolah. Sebaliknya, anak dengan skor IQ 85 tidak berarti harus masuk SLB. Orangtua perlu kritis melihat skor tersebut.

Beda alat, beda yang diukur
Tes IQ yang sering dipakai di Indonesia adalah tes Binet dan Wecshler. Kedua tes ini sebenarnya merupakan alat yang sudah dikembangkan sejak lama. Psikolog asal Perancis, Alfred Binet dan Theodor Simon, mulai merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus (kemampuan di bawah rata-rata). Alat itu dinamakan tes Binet-Simon yang kemudian direvisi pada tahun 1911.

Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika membuat banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Ia menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara usia mental (mental age) dengan usia kronologis (chronological age). Hasil perbaikan ini disebut tes Stanford-Binet. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.

Tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet dinilai masih terlalu umum. Para ilmuwan kemudian mengetahui bahwa intelegensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum, namun juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Berdasarkan teori tersebut, dikembangkanlah teori yang disebut teori faktor. Alat yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Skala ini lebih dikenal dengan skala Wechsler, yang melihat intelegensi sebagai kapasitas seseorang untuk mengatasi masalah sehari-hari menggunakan pengetahuan yang dia miliki.

Faktor genetik dan keturunan
Keturunan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi hasil tes IQ. Penelitian membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga adalah sekitar 0,5. Pada anak kembar, korelasinya sangat tinggi, yaitu 0,9. Sedangkan pada anak adopsi, sekitar 0,4-0,5 dengan orangtua kandung, dan 0,1-0,2 dengan orangtua angkatnya. IQ anak kembar yang dibesarkan secara terpisah tetap berkorelasi sangat tinggi.

Intelegensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak ini sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi, rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan juga memegang peranan yang amat penting. Karenanya, faktor lingkungan dapat menimbulkan perubahan yang berarti.

Oleh karena itu, Indri menegaskan tentang pentingnya kejelasan tujuan dilakukannya tes IQ. Hendaknya tes IQ dilakukan untuk melihat kelebihan dan kekurangan yang ada pada anak. Hal ini penting agar orangtua dan guru dapat memberi stimulasi sesuai dengan kebutuhan anak.

Berdasarkan pengalaman di klinik, Indri banyak menemukan kasus anak yang memiliki skor IQ bagus, tapi prestasi akademisnya rendah. Atau anak dengan skor IQ biasa saja, tapi cukup populer di sekolah karena memiliki rasa percaya diri untuk mengembangkan potensinya.

Sebagai sebuah alat ukur kecerdasan, tes IQ memang satu-satunya alat yang dapat dipakai sampai saat ini. Namun, untuk kepentingan pengoptimalan potensi anak, Indri lebih suka dengan istilah “evaluasi psikologis”. Karena dengan evaluasi psikologis, orangtua atau guru dapat membantu anak sesuai dengan permasalahannya. Misalnya, anak yang kurang pemahaman bahasanya perlu dibantu agar meningkat pemahaman bahasanya.

Untuk evaluasi psikologis, tidak hanya tes IQ yang dibutuhkan. Tes IQ tanpa wawancara sebenarnya tidak bisa berbicara. Karena skor tersebut berhubungan dengan masa lalu, pola asuh, hubungan orangtua dengan anak, kebiasaan belajar, karakter anak dan lingkungannya.
Sumber: Majalah Ummi Online

Senin, 01 Oktober 2007

Tugas ke 4 macam-macam validitas

Uji validitas dan reliabilitas adalah semacam proses “audit” terhadap instrument penelitan (angket, kuesioner) sebelum “go public”. Audit yang dimaksud di sini bersifat antisipasi, preventif bukan evaluatif seperti lazimnya pengertian audit di dunia keuangan. Kualitas hasil riset salah satunya ditentukan oleh faktor uji validitas dan reliabilitas. Apapun metode analisis yang digunakan, secanggih apapun uji-uji statistik yang dipakai, tidak akan berguna jika instrument penelitian tersebut tidak melalui “audit”! Hukum “GARBAGE IN GARBAGE OUT” berlaku di sini.

Jika kita membandingkan sejumlah buku metode penelitian, maka tidak akan menemukan “kesepakatan” di antara para penulis buku tersebut terutama dalam jumlah/ragam jenis validitas dan Pengelompokkannya Ada 4 jenis validitas yang sering disebutkan yaitu : Face Validity, Content Validity, Criterion Validity, dan Construct Validity. Sebaiknya tetap menyebutkan jenis-jenis validitas ini dalam “bahasa londo”-nya karena di antara para penulis buku-buku metode penelitian sepertinya belum ada kesepakatan penerjemahan. Jenis validitas yang paling beragam terjemahannya adalah Face Validity. Terjemahan yang digunakan terhadap Face Validity di antaranya : validitas rupa, validitas muka, validitas paras, dan validitas permukaan. Yang agak berbeda adalah terjemahan Content Validity, manakala sebagian besar buku menerjemahkannya sebagai validitas isi, ada buku yang menerjemahkannya dengan validitas kandungan. Sepertinya memang sudah saatnya ada suatu standar baku dalam menerjemahkan istilah-istilah di dunia metode penelitian.

Suatu instrumen penelitian dikatakan valid jika mampu menghasilkan data yang benar-benar benar. Data yang benar-benar benar dihasilkan oleh instrumen yang mengukur apa yang seharusnya diukur. Contoh dalam kehidupan sehari-hari, timbangan beras valid untuk menimbang sekarung beras tapi tidak valid menimbang sehelai surat, termometer tubuh valid untuk mengukur suhu tubuh tapi tidak valid mengukur suhu air mendidih, jika dipaksakan dijamin rusak termometernya Contoh yang lebih relevan dengan dunia penelitian, apakah cukup dengan hanya menanyakan pengeluaran rutin perbulan maka kita sudah mengukur status sosial dan ekonomi seseorang? Ukuran pengeluaran rutin perbulan tidak valid dalam mengukur status sosial dan ekonomi seseorang, alat ukur tersebut hanya mengukur status ekonomi!

Validitas terdiri dari beberapa jenis, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ke empat jenis validitas tersebut masih bisa dikelompokkan menjadi validitas konsensus dan validitas komparasi. Termasuk dalam validitas konsensus adalah face validity dan content validity. Pengertian konsensus disini adalah kesepekatan para ahli/pakar dibidangnya bahwa suatu ukuran/instrumen memang benar atau tepat adanya mengukur suatu fenomena/gejala. Misalnya untuk menentukan dominasi suatu produk atau perusahaan di pasar tertentu maka kita bisa mengukurnya dengan menghitung market share (pangsa pasar) dari produk atau perusahaan tersebut baik secara unit maupun sales. Semua ahli marketing pasti menyarankan alat ukur ini jika ingin mengetahui dominasi produk atau perusahaan dalam pasar tertentu. Validitas konsensus ini merupakan validitas yang “cetek”, alias paling sederhana, cenderung subjektif, sehingga kurang menantang gitu loh. Tidak diperlukan perhitungan matematis untuk meloloskan suatu alat ukur dari saringan validitas ini. Perbedaan antara face dengan content validity hanyalah pada jumlah dimensi konsep yang diukur. Jika suatu konsep cukup diukur dengan satu atau dua variabel maka loloslah dia dari saringan face validity, misalnya konsep market share. Namun jika suatu konsep melibatkan banyak dimensi maka dia harus menjalani saringan content validity. Misalnya pengukuran status sosial dan ekonomi yang dilakukan oleh AC Nielsen di Indonesia, karena hanya melibatkan satu dimensi saja (pengeluaran rutin perbulan) jelas tidak lolos dari saringan content validity! Alat ukur AC Nielsen tidak valid untuk mengukur konsep status sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia!